Pertikaian Sains, Iman Dan Konspirasi Ditengah Pandemi
Sains merupakan metode yang digunakan manusia untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam dan akurat mengenai alam semesta. Sains merupakan usaha untuk mendapatkan pengetahuan melalui observasi dan dugaan. Kemajuan dalam dunia sains memperlihatkan daya jangkau logika dan imajinasi manusia. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sedangkan konspirasi adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu kegiatan dibeberapa waktu pada masa depan.
Saat ini Seluruh negara termasuk Indonesia, sedang menghadapi Pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 merupakan bagian dari pandemi penyakit corona virus (COVID-19) yang sedang berlangsung di seluruh Dunia. Penyakit ini disebabkan oleh Coronavirus sindrom pernapasan akut berat 2 (SARS-CoV-2). Kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Demikianlah perkenalan singkat mengenai si Corona ini.
Kita langsung aja ke pembahasan mengenai perkembangannya saat ini.
Tanggal 9 Desember 2020 Indonesia telah selesai menyelenggarakan perayaan akbar untuk pesta rakyat yakni; Pemilukada atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Meski dalam situasi pandemi, pemerintah secara yakin untuk tetap menjalankan pemilu dengan mengedepankan protokol kesehatan. Catatan pentingnya adalah saat proses penyelengaaraan pemilu dari pendaftaran bakal calon sampai proses kampanye hinggah hari pencoblosan dilakukan, pembatasan akan jumlah kerumunan penuh dengan kelonggaran. Melihat kondisi ini, asumsi liar bertebaran ditengah masyarakat bahwa "Covid-19 takut pada baju partai". Asumsi liar yang membuat penulis sedikit tertawa saat berusaha menyelesaikan tulisan ini.
Penulis mencoba membedah asumsi liar ini dengan menyandingkannya pada judul pertikaian Sains, Iman dan Kosnpirasi.
Jika kita mencoba mencari informasi mengenai pandangan dari para ahli mengenai pandemi ini pasti kita menemui pandangan-pandangan yang berbeda-beda. Kebingungan ditengah masyarakat mengenai bagaimana, seperti apa, dan pa dampaknya terhadap masyarakat dari Covid-19 ini begitu membingungkan. Hinggah ada masyarakat yang percaya, sedikit percaya bahkan sampai tidak percaya dengan pandemi ini.
Larangan untuk berkumpul dilonggarkan saat kampanye pemilu, tetapi saat mendekati perayaan keagamaan kembali di perketat dengan isu peningkatan jumlah korban yang terpapar virus corona. Disinilah pertikaian antara sains, iman dan konspirasi naik ke permukaan.
Sudah jelas bahwa sains sangat penting dalam memerangi pandemi covid-19. Kita perlu tentang bagaimana virus ini menyebar dan tindakan pencegahannya yang efektif. Kita perlu memperkirakan jumlah kasus agar bisa mengatur perencanaan perawatan orang yang sakit. Kita perlu mengetahui struktur molekuler virus untuk merancang tesnya dan pengembangan vaksinnya.
Tidak satu pun dari hal-hal di atas yang dapat dilakukan tanpa pengamatan/observasi yang hati-hati, melakukan percobaan, mengumpulkan bukti, dan penggunaan logika deduktif dan induktif. Itulah bangunan dasar dari sains.
Pada saat yang sama, pandemi menyingkap watak politik dari sains. Covid-19 menunjukkan bagaimana sains dikontrol, dibingkai (framing), dan dieksploitasi dengan cara-cara yang bertentangan dengan kepentingan rakyat dan kesehatan publik.
Lebih dari dua dekade yang lalu, Professor Richard Levins, salah seorang pendiri Science for People (Sains untuk Rakyat), menggambarkan fenomena di atas sebagai bentuk dari dualisme ilmu pengetahuan.
Di satu sisi, penyeledikan ilmiah berhasil menyingkap kebenaran dari sebuah realitas yang material, yang tidak bergantung pada ideologi maupun politik. Di sisi lain, praktik sains adalah upaya manusia yang berkelindan di dalam sistem sosial dan politik yang menentukan subjek apa yang diteliti, mengapa diteliti, siapa yang meneliti, dan digunakan untuk apa.
Di luar itu, iman dari sistem politik mempengaruhi bagaimana hasil penyelidikan ilmiah dibingkai, dikonseptualisasikan, dan dikomunikasikan. Karena itu, kita tidak bisa melihat sains sebagai sesuatu yang objektif, yang tunduk pada kepentingan publik.
Pengaruh politik pada sains di Indonesia benar-benar telah melemahkan respon terhadap pandemi dalam beberapa hal:
1. Antisipasi akan masuknya pandemi dan penyebarannya sangatlah minim. Itu dibuktikan dari blundernya pandangan atau statemen dari para menteri yang seakan jauh dari ilmu pengetahuan
Meskipun banyak peringatan tentang kerentanan Indonesia terhadap pandemi, bahkan sebelum pandemi covid-19 datang, penelitian tentang pandemi bukanlah prioritas utama dalam penelitian kesehatan dan obat-obatan di Indonesia. Padahal sebelumnya Indonesia pernah diserang Virus yang cukup mematikan yaitu Flu Spanyol. Jumlah penduduk Hindia Belanda tahun-tahun itu, sekitar 35 juta jiwa. Dari jumlah itu, 13,3 persen meninggal karena Flu Spanyol. Itu artinya, lebih dari 4,6 juta nyawa meregang. Sangat jelas pemerintah Indonesia tidak belajar dari pengalam ini.
Dengan keterbatasan persiapan ilmiah yang dilakukan, dalam dekade terakhir ini tampak minim sekali perhatian yang diberikan pada penelitian tentang bagaimana faktor determinan sosial kesehatan (social determinant) , seperti ras, kemiskinan, atau status sosial-ekonomi, sangat mempengaruhi kontrol dan dampak pandemi di kemudian hari.
Menyinggung kesiapsiagaan infrastruktur ilmiah untuk menginformasikan praktek kesehatan masyarakat yang sehat, tetapi tidak menyinggung faktor determinan sosial di penelitiannya.
Kurangnya perhatian pada faktor determinan sosial dalam penelitian pandemi di Indonesia berlanjut hingga masa-masa awal pandemi ini. Padahal, beberapa makalah yang terbit membahas soal faktor determinan sosial ini. Akibatnya, banyak data yang relevan untuk menganalisa faktor ini tidak dikumpulkan.
2. Ada upaya terang-terangan untuk menyembunyikan atau menyeleksi fakta ilmiah, mengabaikan panel ahli, dan mengecam atau memberikan sangsi bagi ilmuwan yang pandangannya menolak status-quo.
Di awal pandemi, para ilmuwan dan para Menteri hinggah elit politik beramai ramai mengeluarkan statement di Media Sosial dengan Statemen yang jauh dari seorang yang berengetahuan. Disamping itu, pemerintah menutup informasi kesehatan publik yang penting kepada warga negara. Seperti jumlah yang terpapar covid dan meninggal karena covid atau bukan.
3. Fakta tentang pandemi dibingkai (framing) untuk melayani kepentingan politik. Virus ini selalu digambarkan sebagai Virus yang sangat menyeramkan. Untuk memenangkan politik xenophobia, mengalihkan perhatian warga terhadap kegagalan pemerintah mengatasi pandemi, dan pembenaran atas serangan terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Peran individu dalam menghadapi ditekankan, tetapi kebijakan atau peraturan yang memastikan tempat kerja yang aman diabaikan. Framing ini sering terjadi pada acara konferensi pers, di mana para pejabat pemerintah memutarbalikkan fakta untuk mengamankan agenda mereka. Mereka mengabaikan suara ilmuwan, ahli kesehatan masyarakat, dan aktivis yang mewakili populasi yang terpinggirkan.
Kombinasi dari pengabaian, penghambatan, dan distorsi terhadap penyelidikan ilmiah terkait pandemi adalah penyangkalan terhadap fakta ilmiah. Hal yang sama juga terjadi pada isu perubahan iklim.
Seakan ada konspirasi tentang pandemi, yaitu mengenai langkah-langkah kesehatan masyarakat (jaga jarak, penggunaan masker, dll) sebagai hal yang harus dilakukan tetapi pasar tradisional yang minim sekali pengawasan. Bahkan pilkada sangat jauh dari langkah-langkah kepentingan masyarakat. Keadan seperti ini membingungkan dan memecah-belah masyarakat, sehingga melemahkan kemampuan mereka untuk bersatu menuntut kebijakan kesehatan yang layak untuk menghadapi pandemi. Belum lagi saat pandemi dikeluarkannya aturan yang banyak mendapatkan penentangan yaitu Omnimbus Law.
Kesimpulan;
Sains adalah alat terpenting untuk mengendalikan penyebaran dan dampak pandemi covid-19. Tetapi efektivitas alat ini bisa tumpul oleh politisasi ilmu pengetahuan dan kampanye pseudo-sains. Iman atau kepercayaan kita sebagai umat beragama mendapatkan ujian berat dengan adanya pandemi ini.
Kita perlu mengingat pesan Professor Levins tentang dualisme sains. Di satu sisi, kita harus memerangi segala upaya menjadi sains hanya untuk melayani politik mereka yang berkuasa. Di sisi lain, kita harus membela dan menyebarluaskan informasi sains yang valid/teruji sebagai senjata menghadapi pandemi. (Sahendarumang)
Sains adalah alat terpenting untuk mengendalikan penyebaran dan dampak pandemi covid-19. Tetapi efektivitas alat ini bisa tumpul oleh politisasi ilmu pengetahuan dan kampanye pseudo-sains. Iman atau kepercayaan kita sebagai umat beragama mendapatkan ujian berat dengan adanya pandemi ini.
Kita perlu mengingat pesan Professor Levins tentang dualisme sains. Di satu sisi, kita harus memerangi segala upaya menjadi sains hanya untuk melayani politik mereka yang berkuasa. Di sisi lain, kita harus membela dan menyebarluaskan informasi sains yang valid/teruji sebagai senjata menghadapi pandemi. (Sahendarumang)
Komentar
Posting Komentar